Hadits Arba’in Nomor 26, Bagian Kedua
BERSYUKUR |
Sebab,
hadits Arba'in ini bisa dimaknai atau dipahami, “diciptakan oleh Allah terdiri
dari banyak ruas, semuanya ada tiga ratus enam puluh (360) ruas. Setiap ruas
ini mencerminkan kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia. Oleh karena itu,
setiap ruas ini diperintahkan untuk bersedekah, sebab atas nama setiap ruas ini
merupakan ekspresi dan bentuk syukur manusia kepada Allah.” (lihat Ibn Rajab
al-Hanbali dalam Jami' al-Ulum wa al-Hikam saat menjelaskan hadits ini).
Kewajiban
manusia untuk mensyukuri nikmat penciptaan manusia yang terdiri dari susunan
ruas-ruas dan organ-organ ini telah diisyaratkan dalam QS Al-Infithar: 6-8, QS
Al-Mulk: 23, QS An-Nahl: 78, QS Al-Balad: 8-9.
Diceritakan
bahwa pada suatu malam seorang ulama bernama al-Fudhail bin 'Iyadh membaca
Al-Qur'an surat Al-Balad ayat 8 sampai 9 ini, lalu ia menangis. Maka
orang-orang yang melihatnya menanyakan apa yang membuatnya menangis? Ia
menjelaskan, "Tidakkah engkau memasuki malam harimu dalam keadaan
bersyukur kepada Allah swt yang telah memberikan dua mata kepadamu dan dengan
dua mata ini engkau dapat melihat? Tidakkah engkau memasuki malam harimu dalam
keadaan bersyukur kepada Allah swt yang telah menjadikan untukmu satu lidah
yang dengannya engkau dapat berbicara?" Fudhail terus menerus menyebutkan
organ-organ seperti ini dengan mengajukan pertanyaan retoris yang sama.
Kenikmatan yang terlupakan
Sebagai
penegas terhadap keharusan untuk mensyukuri nikmat Allah ini, Rasulullah
bersabda, “Ada dua kenikmatan, banyak manusia menjadi merugi gara-gara dua
kenikmatan ini, yaitu; nikmat kesehatan dan nikmat waktu luang.” (HR Imam
Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits no. 6412).
Bukankah
semua ruas tulang belulang manusia merupakan wujud dari kesehatan yang Allah
swt berikan itu? Namun, sayangnya, sebagaimana tersebut dalam hadits, banyak
manusia melupakannya sehingga mereka menjadi merugi karena tidak mensyukurinya.
Pertanggungjawaban untuk
setiap kenikmatan
Semua
kenikmatan yang Allah swt berikan kepada manusia akan dimintai
pertanggungjawabannya. Termasuk kenikmatan yang berupa 360 ruas tulang
belulangnya. Caranya adalah dengan menunaikan hak dan kewajiban setiap ruas
tulang belulang tersebut untuk bersedekah, sebagaimana telah dijelaskan pada
tulisan yang lalu.
Hal
ini sejalan dengan QS At-Takatsur: 8 yang menegaskan bahwa manusia akan
dimintai pertanggungjawaban atas segala bentuk kenikmatan yang telah
diterimanya. Sejalan pula dengan QS Al-Isra':36 yang menegaskan bahwa
pendengaran, penglihatan dan hati itu akan dimintai pertanggungjawaban.
Cara mensyukuri
nikmat Allah
Ada
banyak cara yang dapat dilakukan manusia untuk mensyukuri nikmat Allah swt.
Secara garis besar, mensyukuri nikmat ini dapat dilakukan dengan cara-cara
sebagai berikut:
Mensyukuri dengan hati,
dengan mengakui, mengimani dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan ini
datangnya dari Allah swt semata.
Mensyukuri dengan lisan,
dengan memperbanyak ucapan alhamdulillah (segala puji milik Allah) wasysyukru
lillah (dan segala bentuk syukur juga milik Allah).
Mensyukuri dengan perbuatan.
Mempergunakan segala bentuk
kenikmatan Allah untuk menunaikan perintah-perintah Allah, baik perintah wajib,
sunnah maupun mubah.
Mempergunakan segala bentuk
kenikmatan Allah dengan cara menghindari, menjauhi dan meninggalkan segala
bentuk larangan Allah, baik larangan yang haram maupun yang makruh.
Syukur
dengan hati, lisan dan perbuatan ini hendaklah terefleksi dan tercermin pada
setiap momentum yang bersifat zhahir, bahkan yang tersamar sekalipun. Contoh
cerminan sikap mensyukuri nikmat Allah yang tampak secara lahir ini dapat
dilihat dalam sikap Nabi Sulaiman as saat ia mendapati singgasana Bilqis telah
ada di sampingnya dalam sekejap mata. Saat itu Nabi Sulaiman langsung berkata,
"Ini adalah anugerah Allah. Dia bermaksud mengujiku, adakah aku
bersyukur ataukah aku kufur." (QS An-Naml: 40)
Juga
tampak dari sikap Raja Dzulqarnain yang sukses membangun radm (semacam
benteng) untuk menghalau serbuan Ya'juj Ma'juj. Setelah sukses besar yang luar
biasa ini, ia tidak menisbatkan prestasi spektakulernya itu kepada dirinya,
akan tetapi menisbatkannya kepada Allah. Ia berkata, "Ini adalah rahmat
dari Tuhanku." (QS Al-Kahfi: 98)
Sikap
yang sebaliknya ditunjukkan oleh Qarun. Saat ia ditanya oleh kaumnya tentang
sukses bisnisnya, ia tidak menisbatkan sukses itu kepada Allah. Dengan penuh 'ujub,
sombong dan takabbur ia berkata, "Semua ini aku dapatkan
semata-mata karena ilmuku, kepintaranku, kepiawaianku" (QS Al-Qashash:
78). Karena itulah ia diazab Allah.
Nikmat Allah terlalu banyak
Jumlah
kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia begitu banyaknya, dan sekiranya
manusia bermaksud menghitungnya, niscaya ia tidak akan mampu melakukannya,
sebagaimana QS Ibrahim: 34 dan QS An-Nahl: 18.
Jika
kenikmatan sangat banyak dan manusia tidak akan mampu menghitungnya, lalu
bagaimana kita harus mensyukuri seluruhnya?
Memang
demikianlah adanya, yaitu bahwa manusia tidak akan mampu mensyukuri seluruh
nikmat yang Allah berikan kepada manusia. Oleh karena itu, jangan ada perasaan,
apalagi keyakinan bahwa manusia akan mampu mengimbangi seluruh kenikmatan Allah
dengan mensyukurinya. Dengan demikian, manusia akan terus berusaha untuk secara
terus menerus mensyukurinya.
Inilah
yang dilakukan Rasulullah saw. Beliau terus melakukan shalat malam yang panjang
dan sangat baik, sehingga telapak kaki beliau bengkak-bengkak. Saat 'Aisyah ra
bertanya, “Bukankah dosa engkau yang telah lalu dan yang akan datang telah
diampuni oleh Allah?" Maka beliau saw menjawab, "Tidakkah aku
menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?" (HR Muslim, no 2819).
Namun,
perasaan bahwa manusia tidak akan mampu mensyukuri nikmat Allah, bisa menjadi
kontraproduktif. Ini akan menjadikan manusia frustrasi dan putus asa untuk
dapat mensyukuri nikmat Allah dan sikap ini tentunya tidak dibenarkan oleh
Islam. Oleh karena itu, ada dua cara yang ditawarkan Rasulullah dalam hal ini,
yaitu:
Setiap hari hendaklah
manusia menunaikan shalat Dhuha. Terkait hal ini beliau bersabda, "Semua
itu cukup tergantikan dengan dua rakaat Dhuha” (HR Muslim, hadits no. 720).
Maksudnya, shalat Dhuha bernilai cukup untuk menggantikan kewajiban setiap ruas
tulang belulang manusia dalam menunaikan kewajibannya untuk bersyukur.
Hendaklah seorang manusia
merutinkan membaca dzikir pagi dan sore dengan bacaan sebagai berikut: Allahumma
ma ashbaha bi (kalau sore membaca: Allahumma ma amsa bi) min
ni'matin auw bi ahadin min khalqika faminka wahdaka la syarika laka, falakal
hamdu walakasy-syukru. Yang artinya "Ya Allah, kenikmatan apa saja
yang engkau berikan kepadaku pada pagi hari ini, atau pada sore hari ini, atau
yang engkau berikan kepada siapa pun dari makhluk-Mu, maka semua itu adalah
dari-Mu semata, tidak ada sekutu bagi-Mu, maka, untuk-Mu segala puji dan
untuk-Mu pula segala syukur."
Rasulullah menjelaskan bahwa
siapa saja yang pada pagi harinya membaca dzikir tersebut, maka ia telah
menunaikan syukurnya pada hari itu. Dan siapa saja yang membaca dzikir tersebut
pada sore harinya, maka ia telah menunaikan syukurnya pada malam hari itu. (HR
Abu Daud, An-Nasa-i, menurut Imam Nawawi, hadits ini Isnad hadits ini
bagus dan Abu Daud tidak mendha'ifkannya. Namun menurut Syekh Nashiruddin
al-Albani hadits ini dha'if)
Syekh Abul Hasan Ubaidullah
al-Mubarakfuri berkata dengan mengutip dari Imam Asy-Syaukani, "Hadits
Rasulullah ini mengandung faedah agung dan perilaku mulia, sebab hadits ini
telah menjelaskan bahwa kosa kata yang singkat dan pendek ini telah mampu
menunaikan kewajiban bersyukur...” (lihat Mir'atul Mafatih Syarh Misykatul
Mashabih, juz 8 hal. 148).
sumber : http://www.ummi-online.com
Tag :
Renungan
3 Komentar untuk "NIKMAT ALLAH SWT YANG SERING KITA LUPAKAN"
subhanallah sungguh mulia hatimu ya allah....
numpang promosi !!!
cerita nyata
Hi there every one, here every one is sharing these kinds of familiarity, so
it's nice to read this blog, and I used to visit this website daily.
my webpage ... 1grindmattsehmichajordanbofu2.com
Indahnya Berbagi - ALLAH MAHA KAYA
Pena Sahabat Kisah Keajaiban Sedekah & Cerita Islam